Pebulu tangkis Malayasia, Lee Chong Wei (33), mengaku harus berkerja keras sejak kecil untuk bisa sampai ke posisinya saat ini.
Sukses besar yang diraih Lee saat ini dimulai dengan jalan yang sangat terjal. Lee mengaku, ketika masih kecil dia kesulitan untuk membeli satu raket.
"Karena kaluarga saya miskin, jadi sulit untuk membeli satu raket karena kami tidak punya uang," kata Lee seperti dikabarkan harian lokal Malaysia, Berita Harian, yang dilansir malaymail online.
Ketika kecil, Lee dan empat saudara kandungnya dibesarkan oleh ayah yang memiliki gaji 800 ringgit (sekitar Rp 2,5 juta) per bulan.
Lee akhirnya mendapatkan raket saat akan mengikuti turnamen pertamanya, Piala Milo.
"Saya tahu ayah saya tidak punya uang, tetapi dia tetap berusaha membelikan saya raket Pro Kennex. Itu adalah raket pertama saya, seharga 160 ringgit (sekitar Rp 500.000).
Ketika berusia 13 tahun dan sudah bisa naik sepeda, Lee mencari cara untuk mendapatkan uang sendiri. Dia bekerja di toko alat-alat olahraga yang dekat dengan tempat tinggalnya.
"Untuk satu raket, saya dibayar 1 ringgit. Dalam sehari, saya bisa memasang senar 20 sampai 30 raket," kata Lee.
Dia meminta kepada pemilik toko untuk menyimpan semua upahnya dan menggantinya dengan raket.
Kisah sedih Lee bukan lantas berakhir. Dia dan keluarganya mendapatkan musibah. Pencuri masuk ke rumahnya dan mengambil tas berisi empat raket yang didapatnya dengan kerja keras.
"Saya sangat kecewa. Bagaimana saya bisa bermain bulu tangkis jika tidak ada raket? Tidak mudah bagi saya untuk membeli raket-raket itu?" ucap Lee.
Lee masih beruntung karena pelatihnya memberikan dua raket miliknya.
"Hanya Tuhan yang tahu bagaimana perasaan saya ketika itu. Saya merasa bangkit dari kematian karena bisa melanjutkan ambisi saya dengan bantuan pelatih," ucapnya.
Lee, yang mulai menekuni bulu tangkis ketika berusia 10 tahun, harus menempuh perjalanan selama berjam-jam dengan bus untuk bisa berlatih.
Tiga kali dalam seminggu dia menempuh perjalanan dari rumahnya di Bukit Mertajam menuju akademi bulu tangkis di Jelutong.
Perjuangannya membuahkan hasil. Dia akhirnya meninggalkan keluarganya di Penang pada usia 17 tahun untuk bergabung dengan tim nasioanal.
Perjalanannya tak lantas jadi mudah. Tak pernah jauh dari keluarga dan merasa terisolasi di pelatnas karena menjadi pendatang baru membuatnya menangis setiap hari.
"Setiap hari saya menelepon ibu saya dan saya menceritakan situasinya. Pernah satu kali saya bilang ke ibu kalau saya ingin pulang. Saya tidak ingin menjadi pemain bulu tangkis lagi," ujar Lee melanjutkan kisahnya.
Baca Juga:
- Terima Kartu Hijau, Penyerang Italia Cetak Sejarah
- Maradona: Totti Bisa Bermain Hingga Usia 50 Tahun
- Ronaldo Lebih Suka ke Kelab Malam dan Bertanding Tanpa Latihan
"Namun, ibu saya berkata bahwa itu adalah kesempatan saya untuk mewakili negara dan tidak semua orang punya kesempatan ini. Jadi, saya tidak boleh menyia-nyiakannya," kata Lee.
Ucapan sang ibu itulah yang mengangkat kembali semangat Lee, dan sejak itu dia tak pernah menoleh ke belakang.
Lee berterima kasih kepada penjaga asrama yang dia panggil Mister Howe. Dengan bantuan sang penjaga asrama, Lee bisa mengatasi rasa kangen terhadap keluarga dan membantunya beradaptasi di lingkungan baru.
"Dengan apa yang sudah saya lalui untuk sampai ke level sekarang, saya puas dengan pencapaian saya," kata pebulu tangkis nomor satu dunia tersebut.
Namun, Lee tetap mengaku kecewa karena gagal mempersembahkan medali emas pertama untuk Malaysia pada ajang Olimpiade.
Dari tiga kali lolos ke final Olimpiade (Beijing 2008, London 2012, dan Rio 2016), Lee selalu kalah dan mempersembahkan medali perak untuk negaranya.
"Saya sudah melakukan yang terbaik. Saya harus belajar menerima kenyataan ini. Tidak mudah, tetapi saya harus menerimnya," ujar ayah dua anak tersebut.
Setelah laga final Olimpiade Rio 2016, Lee mengatakan masih akan bermain paling tidak hingga Kejuaraan Dunia 2017. Lee juga belum pernah meraih gelar juara dunia.
Editor | : | Pipit Puspita Rini |
Sumber | : | Themalaymailonline.com |
Komentar