Musim baru lewat empat pertandingan tetapi perjuangan sang juara bertahan Premier League, Leicester City, sudah terlihat akan lebih sulit dari kompetisi lalu.
Pasukan Claudio Ranieri sudah menelan dua kekalahan musim ini, 66% dari jumlah kekalahan klub musim lalu (3) dengan musim masih menyisakan 34 pertandingan.
Kekalahan 1-4 di Liverpool memastikan Leicester menelan kekalahan kedua di laga tandang secara beruntun setelah Jamie Vardy cs tumbang di tim promosi, Hull, pada laga perdana musim.
Leicester adalah pemilik catatan tandang kedua terburuk di liga dengan menelan dua kekalahan, kebobolan 6, dan hanya mencetak dua gol di luar rumah mereka sendiri.
Dilihat secara makro, kemunduran di Hull dan Liverpool mungkin tak terlalu signfikan. Toh, tim promosi selalu bisa mengejutkan, sementara Liverpool menghadirkan salah satu dari dua kekalahan tandang The Foxes musim lalu.
Leicester kalah 0-1 di Anfield pada laga Boxing Day 2015 sementara kemunduran satu lagi terjadi di Emirates.
Akan tetapi, keadaan menjadi sangat runyam apabila dilihat secara mikro.
Kedua kekalahan ini menunjukkan banyak yang tak sinkron di Leicester sekarang.
Selain para pemain baru yang belum menyatu, produktivitas gol adalah salah satunya.
Leicester 2016-2017 hanya mampu menciptakan rataan 1 gol per laga, setengah dari jumlah musim lalu (1,8).
Kebalikannya, mereka kebobolan 1,8 gol per partai, dua kali catatan musim lalu yang 0,9 kali kebobolan per laga.
Perubahan gaya bermain terlihat.
Jika musim lalu Vardy cs membiarkan lawan mendikte bola dan melancarkan serangan balik kilat, musim ini status sebagai juara bertahan membuat mereka harus melakukan sebaliknya.
Lawan-lawan Leicester kini membiarkan The Foxes memainkan si kulit bundar lebih lama.
Hal ini terlihat dari jumlah penguasaan bola Leicester di paruh lapangan lawan yang lebih banyak (48%) musim ini ketimbang musim lalu (43%).
Para pemain Leicester mendapat ruang untuk melakukan operan lebih banyak ketimbang musim lalu (281,7 berbanding 240,4), indikasi bahwa lawan-lawan lebih hati-hati dalam menekan mereka ketimbang musim lalu.
Kelicinan para pemain juga belum maksimal. Jika musim lalu para pemain mencatatkan 11,3 dribel sukses per laga, jumlah ini turun menjadi 8,0.
Padahal, mereka mengakuisisi beberapa pemain lincah seperti Ahmed Musa.
Mungkin, hal paling ketara dari permainan Leicester musim ini adalah betapa buruk mereka berfungsi sebagai unit pertahanan tanpa N'Golo Kante yang hijrah ke Chelsea.
Leicester kini menorehkan rataan 17,75 intersep per laga, turun jauh dari angka musim lalu yang 21,58 per pertandingan.
Hal ini menunjukkan bahwa para pemain lawan dapat lebih mudah membelah pertahanan The Foxes.
Kehadiran Daniel Amartey dan Nampalys Mendy belum bisa menggantikan peran Kante.
Secara bertahan, mereka juga tak segarang musim lalu. Hal ini terlihat dari jumlah memenangi tackle (14,25 berbanding 17,32), blok (3 berbanding 4,42), dan persentase duel (41,96% berbanding 45,72%) yang kesemuanya lebih rendah dari musim lalu.
Semua ini berakibat ke perfect storm bagi Leicester.
Di saat tim-tim lain melihat mereka sebagai sasaran tembak dan tim yang harus dikalahkan, The Foxes justru kehilangan pilar pertahanan tangguh.
Sementara itu, barisan depan pasukan Ranieri juga belum nyetel.
Para fans Leicester tentu berharap integrasi Islam Slijmani, striker pemecah rekor pembelian klub, dapat berlangsung cepat dan tanpa hambatan.
Editor | : | Firzie A. Idris |
Sumber | : | Opta, Squawka, Leicester Mercury |
Komentar