“Jika ada dua pelatih yang berada pada dua kutub berseberangan, mereka adalah (Antonio) Conte dan (Massimiliano) Allegri." Demikian komentar yang meluncur dari mulut Giovanni Galeone, dalam wawancaranya dengan Radio 24.
Penulis: Sapto Haryo Rajasa
Nama Galeone mungkin terdengar asing di telinga sebagian besar publik. Bahkan, di percaturan sepak bola secara umum sekalipun.
Namun, di Serie A, Galeone merupakan sosok yang cukup disegani. Lebih karena deretan klub yang pernah ditukanginya seperti Pescara, Ancona, Udinese, Perugia, hingga Napoli.
Pandit Negeri Spageti bahkan menaruh Galeone sejajar dengan Arrigo Sacchi. Bukan karena kemilau prestasi seperti yang ditorehkan eks pelatih AC Milan tersebut, tetapi lantaran label pelatih inovatif yang tersemat di dadanya.
Maklum, Galoene berani tampil dengan skema ofensif 4-3-3, yang pada dekade 1970-an hingga 1990-an terbilang tabu untuk dipraktikkan klub-klub Serie A.
Ia juga dianggap sebagai salah satu inisiator zonal marking di daratan Italia. Lantas, apa hubungan Galeone dengan Allegri?
Kita harus mundur dua dekade lebih untuk menemukan kedekatan mereka. Ya, Allegri adalah murid didik Galeone sewaktu bermain di Pescara, Perugia, dan Napoli, pada awal era 1990-an hingga awal pergantian milenium ketiga.
Dengan bermodalkan kedekatan selama itu, wajar apabila Galeone berani melakoni komparasi secara lugas antara Allegri dan Conte.
“Allegri tak pernah berbicara tentang semangat, tetapi berbicara soal pilihan operan atau taktik bertahan. Pendek kata, jika Conte berbicara tentang daya juang, Allegri berbicara tentang sepak bola,” katanya lagi.
Sebagai bekas pelatihnya, boleh jadi Galeone merasa punya obligasi untuk membela Allegri di saat publik menyebut bahwa gelar juara Juventus belakangan ini adalah murni buah dari fondasi yang diletakkan oleh Conte.
“Faktanya, Conte berkibar di Italia, tapi tidak di Eropa,” ujar Galeone.
Rasanya tak adil melepas sosok Conte begitu saja. Harus diakui bahwa campur tangan Conte yang memungkinkan Juve meraih trigelar Serie A secara beruntun.
Conte sukses menghadirkan nilai asli Juventus: determinasi, daya juang, hasrat, faktor-faktor tipikal dalam tubuh Juve.
Akan tetapi, dari perspektif strategi, memang sulit untuk menyamakan Conte dengan Allegri.
Sebabnya, jika Conte cuma bisa menerapkan sistem 3-5-2, yang terbukti luar biasa apik, Allegri bisa mengaplikasikan sederet formasi berbeda. Tak hanya di setiap laga, tapi bahkan di setiap babak.
Berikut adalah lima wilayah yang mendapat sentuhan khusus dari Allegri.
1. Beragam Taktik
Allegri tak langsung menanggalkan formasi 3-5-2 warisan Conte. Dalam dua musim sejak menggantikan pelatih timnas Italia itu, Allegri bahkan masih merumput dengan sistem ini lebih dari 20 kali.
Namun, ia juga menambahkan sejumlah alternatif berbeda. Dimulai dari formasi 4-3-1-2, 4-3-3, 4-4-2, hingga 4-5-1.
Allegri bahkan secara unik mengatakan bahwa sistem yang dianutnya adalah 4-3-lihat saja nanti.
Sebuah ucapan berbau gurauan, yang menggambarkan bahwa Juventus bisa berkreasi sesuai kebutuhan di setiap kesempatan.
Sederet alternatif inilah yang bertanggung jawab dalam mempertahankan dominasi Juve.
2. Pegang Pemain Veteran
Kunci dari upaya bangkit menyusul start buruk Juve di awal musim 2015-16 adalah bagaimana Allegri berhasil merangkul figur-figur senior I Bianconeri. Di antaranya Gianluigi Buffon, Giorgio Chiellini, Claudio Marchisio, dan Patrice Evra.
Dengan memegang kendali para senior ini, Allegri justru mendapat dukungan kuat untuk menetap di Juventus Stadium, di saat Tim Zebra menuai hasil buruk.
“Hanya pelatih berani yang mau mengambil alih klub yang baru menjuarai tiga gelar beruntun. Semua orang, termasuk kami, tak yakin bisa terus menjadi juara. Tetapi Allegri memastikan kami mampu,” begitu kata Buffon.
3. Menetaskan Talenta Muda
Di samping sukses menghadirkan kubu pemain senior di pihaknya, Allegri juga mampu mengambil hati para pemain muda.
Tak sebatas mengambil hati, juga membuat mereka muncul sebagai bintang-bintang anyar Serie A.
Tengok bagaimana Allegri berhasil meroketkan Paulo Dybala, Daniele Rugani, Mario Lemina, dari pemain biasa menjadi pemain hebat.
Penyegaran dalam tubuh tim ini ampuh untuk menjaga stabilitas kapal Juve di saat pemain senior butuh dirotasi.
4. Paul Pogba
Setelah mengendalikan pemain senior, legiun muda, dan beberapa wajah baru seperti Sami Khedira, hal yang tak kalah penting adalah usaha untuk menjaga Paul Pogba.
Butuh tangan dingin untuk menjaga pemain muda yang diincar mayoritas klub besar Eropa, agar bisa mempertahankan performanya.
Allegri bisa membuat Pogba diterima figur mapan seperti Vidal, Marchisio, dan Pirlo, sebagai pilihan utama di tim inti, tanpa membuat Pogba besar kepala, dan tanpa membuat pemain lain sakit hati. Kualitas Pogba pun semakin meninggi di bawah polesan Allegri.
5. Tekan Emosi
Tak seperti Conte yang terlihat garang pada saat memimpin Juve, Allegri justru cenderung kalem. Sesi latihan berlalu nyaris tanpa teriakan dalam memperbaiki kinerja anak asuhnya.
Namun, bukan berarti Allegri tak punya wibawa. Ia memilih untuk berbicara dari hati ke hati dalam mencari solusi. Begitu pula ketika berbicara di hadapan media.
Meski begitu, sesekali Allegri masih sering meluapkan emosi dengan berteriak dari tepi lapangan pada saat laga berjalan tidak sesuai plot.
Editor | : | Weshley Hutagalung |
Sumber | : | Tabloid BOLA No.2.665 |
Komentar