Piala Dunia Perempuan 2015 punya makna jauh lebih hebat dari sekadar memperebutkan gengsi sebagai tim sepak bola kaum Hawa terbaik di seantero jagat. Paling tidak, demikianlah yang dirasakan FIFA, sang pemegang otoritas tertinggi sepak bola dunia.
Kredibilitas FIFA saat ini hancur lebur akibat skandal suap yang dilakukan sejumlah petingginya. Hanya, di sisi lain, borok ini malah menjadikan perhatian terhadap lembaga yang beranggotakan 209 asosiasi sepak bola negara dari seluruh dunia ini kian hebat. Bad news are good news, bukankah begitu kata ujar-ujar?
Publik malah menjadi penasaran mengamati segala gerak-gerik FIFA, termasuk PD Perempuan 2015 yang diselenggarakannya. Nah, saat mengamati pelaksanaan turnamen di Kanada inilah publik mau tak mau akan dibuat kagum dengan kerja hebat FIFA dan Sepp Blatter (yang akhirnya mundur dari jabatan sebagai bos FIFA beberapa waktu lalu) menaikkan gengsi sepak bola perempuan.
Tingginya jumlah penonton di stadion bisa menjadi salah satu tolok ukur sederhana untuk melihat keberhasilan FIFA mempromosikan olah raga ini. Saat PD Perempuan digelar pertama kali di Tiongkok pada 1991, data resmi melansir bahwa total penonton di stadion ‘hanya’ 510 ribu alias rata-rata 19 ribuan per partai.
Jumlah itu kini melonjak sangat drastis. Laga pembuka antara tuan rumah Kanada melawan Tiongkok misalnya, dihadiri oleh lebih dari 52 ribu penonton. Ini adalah rekor untuk pertandingan tim semua cabang olah raga di Kanada.
“Untuk partai ketiga timnas Kanada di fase grup, tingginya permintaan tiket membuat kami harus membuka tribun atas Olympic Stadium,” kata Sekjen Asosiasi Sepak Bola Kanada (CSA) Peter Montopoli di Channel News Asia.
Catat juga bahwa tiket untuk laga final pada 5 Juli di Stadion BC Place, yang berkapasitas lebih dari 54 ribu tempat duduk, sudah ludes terjual sejak jauh hari. FIFA sendiri memprediksi jumlah penonton keseluruhan akan melewati rekor 1,2 juta orang pada PD Perempuan 1999.
Paparan media pun luar biasa. PD Perempuan edisi 2015 tidak cuma disiarkan stasiun televisi besar Kanada seperti CTV, TSN, dan RDS, tetapi juga oleh BBC (Inggris), FOX Sports (AS), NBC Deportes (Spanyol), hingga SBS (Australia).
Data Nielsen melansir bahwa laga Grup D antara AS versus Nigeria di FOX ditonton oleh 5 juta orang. Bandingkan dengan 6,3 juta pasang mata yang menyaksikan duel final NBA lewat layar kaca.
Degil
Ironisnya, fakta memperlihatkan betapa PD Perempuan tetap merupakan ajang yang dimarjinalkan oleh FIFA sendiri. Beberapa hal bisa dipakai sebagai dasar untuk berkata demikian.
FIFA contohnya, cuma menggelontorkan 15 juta dolar AS untuk prize money di PD Perempuan 2015, jumlah yang tidak ada apa-apanya dibandingkan 358 juta dolar AS pada PD 2014. Tim juara di PD Perempuan 2015 menerima 2 juta dolar AS, sementara timnas Jerman mendapatkan 35 juta dolar AS berkat sukses mereka di Brasil tahun lalu.
Bahkan Blatter sempat dikecam karena pernyataan seksisnya soal sepak bola perempuan. “Biarkan perempuan bermain bola dalam pakaian yang lebih feminin seperti di voli. Mereka misalnya, bisa memakai celana yang lebih ketat,” katanya pada Januari tahun lalu.
Simak pula kedegilan menolak permintaan agar laga PD Perempuan 2015 dimainkan di lapangan rumput beneran alih-alih rumput artifisial. Padahal, permintaan ini berasal tokoh sentral olah raga itu sendiri, yakni mereka yang tampil di putaran final PD Perempuan 2015.
Dipimpin oleh pemain timnas AS, Abby Wambach, sebuah petisi di situs Coworker.org berisi tuntutan agar laga PD Perempuan 2015 dimainkan di rumput asli telah ditandatangani oleh 25 ribu orang. Namun, FIFA dan CSA tutup kuping.
Wambach cs. sempat berniat mengajukan upaya hukum lewat Pengadilan Hak Asasi Manusia di Ontario pada Oktober lalu. Tapi, harapan digelarnya sidang dengar pendapat musnah setelah CSA menolak adanya mediasi.
Para pemain akhirnya membatalkan tuntutan tersebut setelah merasa CSA dan FIFA memang tak sudi bernegosiasi, bahkan mementahkan permintaan terakhir pemain agar setidaknya laga sejak babak semifinal digelar di permukaan rumput asli tetap ditolak. Sempat beredar isu batalnya tuntutan ini juga akibat ancaman sanksi dari FIFA.
PD Perempuan 2015 akhirnya tetap digelar sesuai keinginan FIFA kendati pemain tidak tinggal diam. “Saya rasa semua bisa melihat sendiri bahwa pantulan bola agak aneh di lapangan dengan permukaan artifisial seperti ini,” kata Wambach selepas duel terakhir timnas AS di Grup D kontra Nigeria.
Wambach bukan satu-satunya yang merasa demikian. Kapten timnas Jepang, Aya Miyama, menyebut rumput artifisial menyulitkannya dalam menggiring bola. Penyerang Prancis, Sydney Leroux, dan bek AS, Ali Krieger, menyampaikan keluhan sejenis kendati hanya bisa pasrah dan memilih beradaptasi.
Padahal, selain soal gerakan bola, lapangan dengan ‘rumput plasu’ bisa berbahaya buat keselamatan karena pemain menjadi lebih rentan dengan kelalahan dan cedera.
Tahukah Anda berapa suhu permukaan lapangan Stadion Commonwealth saat laga pembuka antara Kanada melawan Tiongkok? Lebih dari 48 derajat Celcius. Lapangan rumput asli bisa lebih dingin 10 derajat Celcius.
Mungkin cuma kebetulan, tapi bukanlah tidak mungkin bahwa inilah yang menyebabkan banyak pemain di Kanada 2015 menaikkan kaus kakinya lebih tinggi dari lutut atau memakai pelindung khusus saat tampil di Kanada 2015.
"Bila melakukan tekel sambil meluncur di lapangan rumput, pemain tinggal bangun dan menyeka rumput dan tanah dari kakinya. Tapi di lapangan artifisial, ada lapisat kulit yang mengalami efek terbakar saat melakukan sliding-tackle," kata gelandang timnas perempuan AS, Heather O'Reilly.
Debat soal cedera akibat penggunaan rumput asli kontra rumput artifisial memang seakan tidak ada habisnya sejak beberapa waktu terakhir. Kedua pihak memaparkan pro dan kontra serta mengambil referensi dari pakar masing-masing. Hanya, mengingat keluhan datang langsung dari pemain, sudah semestinya FIFA lebih membuka diri.
Sejumlah pihak sampai menuding bahwa FIFA akan bersikap lain bila tuntutan itu datang dari pesepak bola pria. Jangan lupa bahwa seluruh partai PD kaum Adam selama ini digelar di lapangan rumput asli. Begitu juga dua edisi depan di Rusia 2018 serta Qatar 2022, tak perduli pada tahun lalu Blatter pernah menyebut rumput artifisial sebagai masa depan sepak bola.
Editor | : | Andrew Sihombing |
Sumber | : | BOLA |
Komentar